Waspadai Dampak Kerusuhan Mesir
Dalam minggu terakhir bulan Januari 2011, Mesir diguncang aksi demo keras yang semakin meluas. Gerakan diawali oleh para aktivis yang mengajak rakyat Mesir untuk melakukan gerakan bersama melawan kemiskinan, pengangguran, korupsi pemerintah, dan kekuasaan Presiden Husni Mubarak. Demonstran mendesak Mubarak mengakhiri kekuasaannya yang telah berlangsung 30 tahun, menuntut mundur Perdana Menteri Ahmed Nazif, serta menuntut pembubaran parlemen dan pembentukan pemerintah bersatu.
Gerakan demonstran yang dimulai pada hari Rabu (26/1/2011) yang merupakan hari libur nasional mereka lempar dengan tagline "hari kemarahan". Massa demonstran berbaris di pusat kota Kairo, menuju kantor partai yang berkuasa, Partai Demokrasi Nasional, serta Departemen Luar Negeri dan televisi negara. Protes serupa dilaporkan terjadi di kota-kota lain di seluruh negeri. Bentrokan akhirnya tak terhindarkan, polisi melemparkan gas air mata dan meriam air terhadap demonstran yang berteriak "Turunlah bersama Mubarak" di Tahrir Square.
Kerusuhan meluas di Alexandria, kota Mansura di Delta Nil, Tanta dan di kota-kota selatan Aswan dan Assiut. Pada kerusuhan awal tiga pengunjuk rasa dan seorang perwira polisi telah tewas. protes terus di beberapa kota. Ratusan orang telah ditangkap, tetapi para pengunjuk rasa mengatakan mereka tidak akan menyerah sampai permintaan mereka terpenuhi. Kekerasan juga meletus di kota Suez , sementara di daerah Sinai utara, tepatnya di kawasan Sheikh Zuweid, suku Badui dan polisi terlibat aksi saling menembak, menewaskan seorang remaja berusia 17 tahun. Hal yang sama juga terjadi di Ismailia.
Tuntutan dan aksi yang dikatakan terilhami oleh demonstrasi yang berhasil menjatuhkan presiden tunisia itu terus dicoba dibubarkan oleh pemerintah. Sekitar 250 orang terluka, termasuk 85 polisi, setelah polisi antihuru hara menembakkan gas air mata. Citra kepolisian di Mesir terus merosot, sementara rakyat masih menghargai pasukan militer. Para pejabat keamanan menyebutkan hampir 1000 pemrotes ditahan. Pada tanggal 28 Januari internet dan SMS di Mesir mati, layanan jejaring sosial Facebook dan Twitter terganggu.
Pemerintah Mesir kini mendapat tekanan internasional yang lebih keras, termasuk dari negara sekutunya Amerika Serikat. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Philip Crowley menyampaikan agar para pemimpin Arab bekerja sama dengan masyarakat mereka dalam melakukan reformasi atau dalam mencermati para ekstremis. "Orang-orang di seluruh Timur Tengah-orang seperti di mana-mana-sedang mencari kesempatan untuk berkontribusi dan memiliki peran dalam keputusan-keputusan yang akan menentukan kehidupan mereka," katanya.
"Kami ingin melihat reformasi terjadi di Mesir dan di tempat lain, untuk membuat peluang lebih besar di bidang politik, sosial dan ekonomi yang konsisten dengan keinginan rakyat," kata Crowley. "Amerika Serikat adalah mitra Mesir dan orang-orang Mesir kini berada di dalam proses, yang kami percaya harus terungkap dalam suasana damai," kata juru bicara itu. Sementara Menteri luar negeri AS Hillary Clinton menyampaikan bahwa Amerika Serikat mendukung "hak fundamental menyatakan pendapat dan berkumpul bagi semua orang dan kita mendesak agar semua pihak menahan diri dan menahan diri dari kekerasan."
Kini, apa yang bisa dilihat dari kerusuhan di Mesir tersebut. Kerusuhan di Mesir merupakan sebuah awal gelombang protes masyarakat yang menginginkan perubahan menuju ke suatu kondisi yang lebih baik. Gerakan rakyat dikawasan tersebut dimulai di Tunisia, dan berhasil menumbangkan Presiden Zine al-Abidine Ben Ali pada bulan Januari ini. Setelah Mesir bergolak kemudian Yaman mulai bergetar. Puluhan ribu warga Yaman menggelar unjuk rasa di ibu kota Sana menuntut Presiden Ali Abdullah Saleh, yang telah berkuasa dalam 30 tahun terakhir, mundur. Presiden Saleh, yang dikenal sebagai sekutu Barat, menjadi pemimpin Yaman Utara pada 1978. Ia juga menjadi pemimpin negara ketika Yaman Selatan bergabung dengan Utara pada 1990. Terakhir kali ia terpilih kembali menjadi presiden pada 2006.
Kenapa gelombang protes bergulir dikawasan tersebut? Rakyat di ngara-negara tersebut menginginkan sebuah perubahan untuk melawan kemiskinan, pengangguran dan korupsi pemerintah. Demonstran ternyata tidak mampu diatasi oleh aparat kepolisian. Panser-panser pasukan keamanan telah diserbu dan dibakar oleh massa. Presiden Mubarak nampaknya belum berhasil mengatasi aksi keras demo yang terjadi. Dalam pidato di televisi, Mubarak berjanji akan melaksanakan reformasi politik dan ekonomi. Ia juga memerintahkan Kabinetnya mengundurkan diri dan berjanji untuk mengangkat Kabinet baru.
Di lain sisi Amerika sebagai negara pendukungnya bahkan menekan Mubarak agar tidak mengambil tindak kekerasan terhadap demonstrasi damai dan memulihkan pelayanan komunikasi dan internet yang telah diputuskan. Presiden Barrack Obama mengatakan telah menelepon Presiden Husni Mubarak agar mengambil langkah kongkrit untuk memenuhi reformasi yang telah dijanjikannya kepada rakyat Mesir. Kini para demonstran tidak memperdulikan jam malam dan terus menuntut agar Mubarak mengakhiri kekuasaannya yang sudah berlangsung 30 tahun itu. Gedung-gedung terus terbakar di Kairo dan tank-tank meronda jalan-jalan, yang mengakhiri hari yang penuh dengan kekerasan dan kekacauan di Mesir.
Pemerintah Mesir Tolak Usulan Transisi
Pemerintahan Hosni Mubarak secara tegas menolak tekanan barat untuk segara melakukan transisi politik sesegera mungkin. Hal tersebut ditegaskan Kementrian Luar Negeri Mesir, Rabu (2/2/2011).
Dalam pernyataan resmi yang dilansir kantor berita Mesir, MENA, Pemerintah Mesir menegaskan tidak akan memenuhi permintaan asing untuk melakukan transisi sekarang. Pemerintah Mesir akan menyelesaikan masalah kondisi internal sendiri.
Juru bicara Kementrian Luar Negeri Mesir mengakui sejumlah negara. Antara lain, permintaan dari AS dan beberapa negara Eropa.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Barack Obama menelepon langsung Presiden Hosni Mubarak untuk mendesak transisi sekarang juga dan mungkin tawaran Mubarak turun kekuasaan September mendatang tidak cukup.
Mubarak Takut Mesir dalam Keadaan Kaos
Dalam wawancara di jaringan televisi ABC, Presiden Mesir Hosni Mubarak mengatakan, sebenarnya ia mau mengundurkan diri dari jabatannya. "Tapi, saya takut hal itu akan membuat Mesir kaos," begitu kata gaek berusia 82 tahun ini kepada reporter jaringan tersebut di Kairo, Christiane Amanpour.
Catatan ABC pada Kamis (3/2/2011) menunjukkan unjuk rasa, khususnya di Lapangan Tahrir Kairo, dua hari belakangan ini cenderung makin berbuah kekerasan. Di satu sisi, ada kelompok anti-pemerintahan yang menginginkan agar Mubarak lengser. Di pihak lain, ada pendukung Mubarak. Menurut Pemerintah Mesir, akibat baku bentrok tersebut 6 pendemo tewas dan 836 lainnya luka-luka.
"Saya sudah lelah. Selama 62 tahun melayani masyarakat, cukuplah itu. Saya ingin berhenti," begitu kata Mubarak sembari juga menyalahkan Persaudaraan Muslim sebagai biang kerok munculnya unjuk rasa yang saat ini sudah memasuki hari kesepuluh itu.
"Pawai Sejuta Orang" Dimulai
Lebih dari 5.000 orang telah berkumpul di Kairo, Selasa pagi waktu setempat, menjelang "pawai satu juta orang" yang diserukan pihak oposisi dalam kampanye mereka untuk menggulingkan Presiden Hosni Mubarak, kata seorang wartawan AFP.
Banyak pengunjuk rasa melanggar jam malam dengan bertahan di Tahrir Square semalam. Lokasi itu menjadi episentrum protes yang telah memaksa Mubarak mengumumkan reformasi politik dan ekonomi, tetapi dianggap tidak memadai oleh tokoh-tokoh oposisi.
Para penyelenggara protes telah mengumumkan pemogokan umum tak terbatas dan menyerukan pawai massa di ibu kota pada Selasa ini, yang merupakan hari kedelapan protes antipemerintah yang telah menelan setidaknya 125 nyawa dalam bentrokan antara demonstran dan polisi. Sejuta orang lain juga direncanakan akan menggelar aksi protes serupa di kota pelabuhan Mediterania, Alexandria, hari ini.
Jangan Sampai Terjadi "Jumat Berdarah"
Belajar dari pengalaman unjuk rasa pada Kamis (27/1/2011), aparat keamanan Mesir menambah pasokan kekuatan untuk berhadapan dengan jumlah lebih besar pengunjuk rasa pada Jumat (28/1/2011), Informasi dari warta AP dan AFP menunjukkan, demonstrasi dikabarkan meluas lantaran ajakan untuk turun ke jalan itu sudah tersebar melalui internet.
Sebelumnya, pemerintah Mesir mencoba untuk memblokir situs jejaring sosial Facebook dan Twitter yang digunakan untuk menyebar ajakan berunjuk rasa. Tak hanya memblokir internet, layanan 3G dan pesan pendek di telepon genggam pun diganggu.
Selain memblokir sarana komunikasi para pengunjuk rasa, dilaporkan sejumlah penangkapan sudah terjadi. Tak cuma itu, pasukan khusus antiterorisme juga dikerahkan di sejumlah lokasi straregis di Kairo, termasuk di Lapangan Tahrir tempat aksi unjuk rasa sebelumnya digelar.
Menteri Dalam Negeri Mesir bahkan mengancam pemerintah akan mengambil tindakan tegas terhadap para pengunjuk rasa. Pemerintah Mesir menganggap berunjuk rasa menyalahi undang-undang yang berlaku. Andai bentrok terjadi, banyak kalangan mengharapkan agar insiden itu tidak menjadi "Jumat Berdarah" alias makin banyaknya jatuh korban pada saat kejadian.
Mesir, Pelajaran bagi Penguasa
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan, ketegangan politik yang terjadi di Mesir harus menjadi pelajaran bagi semua penguasa, termasuk para pemimpin di Indonesia.
"Agar tidak semena-mena terhadap rakyat, terhada kritik, koreksi, yang cenderung dijawab secara apologi dan mengalihkan isu pada yang bersifat personal. Janganlah seperti itu," katanya usai menghadiri perayaan ulang tahun Nasional di Jakarta Convention Center, Selasa (1/2/2011) malam.
Aksi unjuk rasa jutaan masyarakat Mesir dalam upaya menggulingkan Presiden Hosni Mubarak itu, menurut Din, muncul dari ketidakpuasan rakyat terhadap rezim otoriter yang berkuasa di sana. Sementara, kesejahteraan rakyat tidak diperhatikan.
"Ada faktor kesejahteraan seperti kemiskinan, pengangguran, yang memang sangat luas di Mesir," ujar Din.
Ketidakpuasan rakyat, lanjut dia, kemudian berhimpitan dengan ideologi anti kezaliman. Puncaknya, kemarahan massa terhadap pemerintah tidak dapat dihindari. "Maka saya pikir pemerintahan Mesir dibawah Mubarok tidak akan bertahan lama," katanya.
Ia mengingatkan, kondisi seperti di Mesir yang mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerugian materil dapat saja terjadi di Indonesia. Terlebih, saat ini telah muncul ketidakpercayaan rakyat terhadap langkah kebijakan pemerintah.
"Ini harus diperhatikan pemerintah. Kritik-kritik atau protes masyarakat hendaknya dijawab dengan kerja, jangan kata-kata, apalagi dijawab dengan mencoba lari dari masalah dan mencari pengalihan isu," kata Din.
Krisis Mesir Picu Kenaikan Harga Minyak
Harga minyak naik di perdagangan Asia Rabu, dengan minyak mentah "Brent" menembus kisaran 102 dollar AS per barrel. Menurut analis, kenaikan harga emas hitam itu dipicu ketidakpastian situasi di Mesir masih terus berlanjut menambah menurunnya minat para investor.
Kontrak utama New York, untuk minyak mentah "light sweet" pengiriman Maret naik dua sen ke posisi 90,79 dollar AS dan minyak mentah "Brent North Sea" juga penyerahan Maret menguat 25 sen menjadi 101,99 dollar AS per barrel.
Kekacauan di Mesir telah mendorong harga minyak mentah "Brent" di atas 102,08 dollar AS per barrel pada Selasa waktu setempat, tingkat tertinggi sejak September 2008 setelah kebangkrutan Lehman Brothers mengantarkan pasar-pasar finansial memasuki suatu kemerosotan.
Mesir bukan produsen minyak mentah terkemuka tetapi merupakan lokasi dari Terusan Suez yang sangat penting untuk mengalirkan 2,4 juta barrel minyak per hari, setara dengan produksi minyak Irak atau Brazil. "Kekhawatiran seputar situasi tidak menentu di Mesir, masih akan menjadi faktor utama yang mempengaruhi harga minyak saat ini," kata Yu Yingxi, analis komoditas untuk Barclays Capital di Singapura.
Lebih dari satu juta orang ambil bagian dalam demonstrasi anti pemerintah di Mesir pada Selasa, protes yang sudah memasuki hari ke delapan yang bertujuan menggulingkan Presiden Mesir Hosni Mubarak.
Para investor khawatir bahwa demonstrasi serupa--yang juga terjadi di Tunisia, Yaman dan Yordania--dapat merebak ke seluruh kawasan kaya minyak.
Krisis Pangan dan Pergolakan di Arab
petaka politik di Tunisia dan Mesir serta keresahan yang merambat di beberapa negara di kawasan Arab ternyata diawali sejumlah masalah dasar. Salah satunya, krisis pangan di berbagai tempat di wilayah itu. Warga sulit mendapatkan harga pangan yang murah. Harga pangan terus melambung. Kasus di wilayah ini menjadi perhatian dunia karena menjadi contoh awal dampak krisis pangan tahun ini.
Meski pergolakan politik di Tunisia dipicu kasus penempelengan pedagang buah, Mohammed Bouazizi (26), pada 17 Desember tahun lalu oleh seorang polisi, banyak analis menyebutkan bahwa krisis pangan di negara itu menjadi salah satu penyebab kejatuhan rezim Zine al-Abidine Ben Ali.
Sebelum peristiwa itu, rakyat Tunisia marah karena beratnya masalah pengangguran dan tingginya harga pangan. Jumlah penganggur dilaporkan mencapai 14 persen dari usia kerja.
Adapun krisis pangan di Tunisia telah membuat rakyatnya menderita karena harga pangan naik 20-30 persen pada minggu pertama Januari. Krisis pangan dilaporkan akibat musim tanam yang buruk, sementara permintaan terus meningkat. Akses untuk mendapatkan pangan di pasar dunia juga makin sulit.
Kerusuhan akibat krisis pangan juga dilaporkan terjadi di Aljazair. Pengumuman kenaikan harga pangan telah menyebabkan protes besar-besaran di negara tersebut. Pekerja kereta api dan mahasiswa melakukan aksi turun ke jalan. Beberapa tempat, seperti bank, kantor polisi, dan kantor pemerintah, diserang massa. Kerusuhan di Aljazair reda menyusul pemangkasan pajak pangan hingga 41 persen.
Di Amman, Jordania, ribuan warga berunjuk rasa menyusul kenaikan harga pangan. Pada pertengahan Januari lalu, mereka juga menuntut penurunan perdana menteri. Di Sudan selatan, unjuk rasa juga terjadi menyusul pengurangan subsidi pangan dan bahan bakar.
Di Mesir, kenaikan harga pangan juga telah menjadi salah satu penyebab kerusuhan di negara itu. Desember tahun lalu, beberapa kalangan telah memperingatkan akan munculnya krisis pangan di negara itu. Akan tetapi, tidak ada tindakan yang nyata. Saat berdemonstrasi, warga meneriakkan tuntutan agar harga pangan segera diturunkan.
Presiden Mesir Hosni Mubarak telah meminta pemberian subsidi harga pangan serta mengupayakan pengendalian inflasi untuk meredakan unjuk rasa dan kerusuhan yang terjadi di sejumlah tempat.
Kasus di Tunisia, Aljazair, Jordania, Sudan, dan Mesir, yang kemungkinan dalam waktu dekat menimpa negara lain, sebenarnya menjadi gambaran umum tentang masalah pangan dunia.
Penyebab krisis pangan berasal dari dua sisi, yaitu konsumsi dan produksi. Pada sisi konsumsi, ledakan jumlah penduduk menyebabkan konsumsi bahan pangan meningkat. Pada sisi produksi, lahan pertanian berkurang, penggunaan air berubah dari kepentingan pertanian ke kepentingan warga kota, dan perubahan iklim telah menurunkan produksi pangan. Kondisi ini memunculkan spekulasi harga pangan di pasar dunia.
Prof Nouriel Roubini dari Universitas New York, yang memimpin lembaga Roubini Global Economics, termasuk yang meyakini bahwa penyebab krisis di kawasan Arab adalah krisis pangan. Akan tetapi, ia menyayangkan masalah krisis pangan sebagai akar masalah kerusuhan politik di sejumlah negara itu sepertinya tidak pernah diungkap ke permukaan.
”Yang terjadi di Tunisia dan sekarang di Mesir serta kerusuhan di tempat lain bukan hanya karena tingkat pengangguran yang tinggi, tetapi juga karena krisis pangan,” kata Roubini.
Ia menyebutkan, harga pangan di Mesir pada awal Januari naik 17 persen. Hal ini akibat kenaikan harga komoditas di pasar internasional. Spekulasi harga komoditas memperparah keadaan.
Roubini menyoroti soal spekulasi ini. Ia menyatakan, pascakrisis finansial beberapa waktu lalu, para pemilik modal yang semula bermain di pasar finansial kembali ke pasar komoditas. Hasilnya? Pasar komoditas yang semula sudah dingin setelah krisis pangan 2008 kembali memanas akibat spekulasi di pasar komoditas makin meningkat. Ia mengakui, sumber utama krisis pangan adalah perubahan iklim, tetapi spekulasi harga memperparah keadaan.
”Perkembangan di Mesir sangat mungkin memengaruhi bagian lain di dunia. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhan global,” katanya.
Ia memperingatkan, unjuk rasa dan kerusuhan bisa terjadi di India, Pakistan, China, dan negara-negara di Amerika Latin apabila krisis pangan menimpa negara-negara itu.
Secara global, kondisi saat ini bisa memburuk karena sejumlah analisis menyatakan bahwa krisis pangan tahun ini makin parah sebagai dampak perubahan iklim. Indonesia, yang juga sudah diperingatkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), sangat mungkin terkena krisis pangan. Jika ini terjadi, krisis politik pun bisa menjalar ke Indonesia.
Sudah tentu masalah krisis pangan di Indonesia akan makin memanas jika masalah korupsi dan masalah kemiskinan tidak segera dicarikan jalan keluar. (ANDREAS MARYOTO)
Korban Tewas di Mesir Lebih dari 100 Orang
Sedikitnya 102 orang telah tewas—33 orang di antaranya pada Sabtu saja—dalam lima hari kerusuhan antipemerintah di Mesir. Sebelumnya disebutkan, korban tewas yang jatuh sejak aksi protes meletus, Selasa (25/1/2011), adalah 92 orang.
Demikian informasi yang dihimpun dari sumber-sumber keamanan dan medis, Minggu (30/1/2011). Lebih dari 10 orang dilaporkan tewas di sekitar Kota Beni Sueif, 140 kilometer (85 mil) di selatan Kairo. Dengan demikian, korban tewas di kota itu tercatat 22 orang setelah para pemrotes berusaha membakar sebuah kantor polisi, kata para saksi mata.
Tiga orang lainnya tewas pada Sabtu (29/1/2011) di Kairo, tiga di Rafah di perbatasan dengan Gaza, dan lima di Ismailia, tepi barat Terusan Suez. Sebelumnya, Jumat (28/1/2011), 62 orang tewas, termasuk 35 orang di Kairo.
Tujuh orang tewas antara Selasa dan Rabu (26/1/2011) di Kairo dan Suez, di tengah protes—yang belum pernah terjadi sebelumnya— menuntut penyingkiran Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun.
Selain korban tewas, beberapa ribu orang juga dilaporkan terluka pada pekan ini.
Mesir Pasca-mundurnya Mubarak
Presiden Mesir Hosni Mubarak akhirnya tidak mampu bertahan menghadapi tekanan dari rakyat untuk mundur dari kursi kekuasaan. Tidak sampai 24 jam setelah menyatakan untuk tetap bertahan, kemarin, Mubarak akhirnya meletakkan jabatan yang sudah 30 tahun ia genggam.
Mubarak memang tidak mengumumkan sendiri pengunduran dirinya sebagai Presiden. Ia meminta Wakil Presiden Omar Sulaeman untuk menyatakan bahwa dirinya mundur dari jabatannya dan selanjutnya tampuk pimpinan pemerintahan diberikan kepada Dewan Jenderal Mesir.
Militer akan menangani jalannya pemerintahan sementara sampai terpilihnya Presiden baru dan terbentuknya pemerintahan baru. Oleh karena keputusan yang mendadak, belum diketahui kapan pemilihan umum akan digelar di Mesir. Dewan Jenderal pun belum menyampaikan langkah yang akan dilakukan pada masa transisi ini.
Keputusan mundur Mubarak disambut dengan penuh suka cita oleh masyarakat Mesir. Sepanjang malam mereka turun ke jalan untuk merayakan "kemenangan" atas tirani pemerintahan yang tidak menyejahterakan rakyat dan penuh dengan praktik korupsi.
Rakyat Mesir belum memikirkan siapa selanjutnya yang mereka harapkan untuk memimpin Mesir ke depan. Mereka hanya menginginkan agar pemerintah yang baru menegakkan hukum dan memproses praktik korupsi yang telah merugikan keuangan negara dan menyengsarakan rakyat banyak.
Terutama korupsi Mubarak yang diperkirakan mencapai 36 miliar dollar AS diminta untuk disita oleh negara. Uang yang dirampok dari negara diharapkan dikembalikan kepada negara agar bisa dipakai untuk membangun negeri dan mengangkat kualitas kehidupan masyarakat.
Kita tentunya beryukur bahwa akhirnya akal sehat yang berbicara. Mubarak tidak lagi menggunakan kekerasan untuk menghentikan demonstrasi massa. Ia menyadari bahwa tidak mungkin ia memperpanjang masa kepemimpinan, meski sampai bulan September ketika masa jabatannya berakhir. Rakyat Mesir sudah tidak menghendaki dirinya dan meminta Mubarak turun sejak sekarang juga.
Mubarak tampaknya menyadari bahwa kekuasaan berada di tangan rakyat. Suara rakyat tidaklah mungkin selamanya bisa dibungkam. Satu saat mereka pasti akan bangkit untuk memperjuangkan ketidakadilan yang mereka rasakan.
Kita akhirnya harus menyadari bahwa kekuasaan bukanlah untuk kepentingan pribadi atau kelompok saja. Kekuasaan bukan sebuah hak istimewa, tetapi kekuasaan itu adalah sebuah amanah. Kekuasaan harus dipakai untuk kepentingan rakyat, dipakai untuk menyejahterakan kehidupan masyarakat.
Para pemegang kekuasaan harus menyadari bahwa rakyat bukanlah pribadi-pribadi yang hanya bisa menerima. Sekarang ini rakyat mempunyai suara yang tidak kalah lantang. Kekuatan rakyat jika sudah dikecewakan dan kemudian bangkit, tidak mungkin bisa dihentikan dengan kekuatan militer sekali pun.
Selama 18 hari Mubarak mencoba mengintimidasi rakyat. Dengan kekuatan yang ada di tangan, Mubarak mencoba menakut-nakuti rakyatnya. Tidak kurang dari 300 nyawa melayang. Namun rakyat Mesir tetap bergeming dan bahkan mereka lebih berani untuk melawan dan menegakkan keadilan.
Setelah mundurnya Mubarak, kita berharap rakyat Mesir bisa menata kembali kehidupan mereka. Perekonomian yang lumpuh sepanjang dua pekan terakhir harus segera dipulihkan. Rakyat Mesir harus melanjutkan kehidupan dan pembangunan untuk mencapai masa depan yang lebih baik.
Sebagai sebuah kekuatan penting di Timur Tengah, Mesir diharapkan bisa tetap memainkan peran penting untuk menjaga perdamaian di kawasan. Mesir memang merupakan kunci yang bisa membawa Timur Tengah masuk dalam perdamaian, namun sebalik juga bisa membawa ke arah peperangan.
Di sinilah peran dari pemerintahan baru Mesir diharapkan. Mesir bisa mendorong ditegakkannya keadilan di kawasan dan menghindarkan adanya bangsa atau negara yang diperlakukan secara tidak bermartabat.
Selama ini Mesir dianggap terlalu mengikuti apa yang diinginkan oleh Amerika Serikat. Israel melalui AS memang mengharapkan Mesir bersikap netral. Dengan iming-iming bantuan ekonomi AS, Mesir akhirnya sering menutup mata atas perlakuan tidak adil Israel terhadap bangsa-bangsa di sekitarnya.
Kita tentunya mengharapkan Mesir menjadi kekuatan penyeimbang di Timut Tengah. Namun perannya diharapkan lebih aktif terutama dalam mencegah perilaku negara-negara yang merasa dirinya kuat dan biasa melakukan tindakan sewenang-wenang kepada bangsa lain.
Kunci persoalan Timur Tengah tetap terletak pada isu Palestina. Sekarang ini dunia sering melihat perlakuan yang tidak adil kepada bangsa Palestina, sehingga mereka sering menjadi bulan-bulanan. Bahkan Gaza hingga saat ini menjadi wilayah Palestina yang diblokade habis, sehingga membuat rakyatnya hidup sengsara.
Mesir tentunya tidak perlu harus mengangkat senjata dalam memainkan perannya. Namun Mesir harus bisa semua pihak di kawasan untuk meninggalkan jalan kekerasan dan sama-sama membangun perdamaian agar semua bisa menata kehidupan yang lebih aman dan tenteram.
Rakyat Mesir sudah berhasil melakukan revolusi. Semoga revolusi tidak terus bergulir tanpa henti. Akhirnya revolusi harus menghasilkan penataan kehidupan bernegara yang lebih baik dan setelah mundurnya Mubarak semua harus kembali kepada tugas dan tanggung jawabnya untuk membangun terus Mesir.
sumber:
http://internasional.kompas.com/
http://metrotvnews.com/read/tajuk/2011/02/12/670/Mesir-Pasca-mundurnya-Mubarak/tajuk